Selasa, 11 Mei 2010

Anak Wajah Seribu yang Bermimpi Tampil di Olimpiade

Sekedar mengingatkan saja bahwa pada postingan sebelumnya di blog Type Approval Indonesia membahas tentang Rasionalitas Naratif Kunjungan Obama, dan kali ini saya akan membahas tentang Anak Wajah Seribu yang Bermimpi Tampil di Olimpiade. menurut informasi bahwa Membela nama bangsa dan negara bukan hanya monopoli orang yang dilahirkan sempurna. Penyandang tunagrahita pun bisa melakukannya.Hal itu telah dibuktikan Fitriana,atlet asal Sulsel, yang membela Indonesia di Olimpiade Tunagrahita,Beijing,2006 lalu.

Kendati tidak berhasil meraih medali, Fitriana yang bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) Pembina Tingkat I Provinsi Sulsel itu, sukses menembus lima besar di nomor lari jarak pendek. Kesempatan bisa tampil di olimpiade kini juga dimiliki puluhan anak penyandang tunagrahita di Sulsel.

Sebagai syarat, mereka terlebih dulu harus tampil sebagai juara di eventPekan Olahraga Nasional (Pornas) Special Olympics Indonesia (SOIna) yang akan berlangsung di Ragunan, Jakarta, 24–30 Juni mendatang. Pengda SOIna Sulsel akan mengirimkan 50 atlet penyandang tunagrahita di ajang Pornas tersebut. Atlet tersebut merupakan seleksi Pekan Olahraga Daerah (Porda) SOIna Sulsel yang digelar di Makassar, 8–10 Mei.Porda ini diikuti puluhan anak tunagrahita dari 20 kabupaten/ kota di Sulsel. Ketua panitia Porda SOIna Sulsel Fatimah Azis berharap ada atlet Sulsel yang bisa menembus olimpiade yang akan digelar di Athena, September 2010. ”Semoga ada yang mampu mengikuti jejak Fitriana menembus olimpiade. Itu tentu kebanggaan besar buat Sulsel,”kata perempuan berjilbab yang sudah 24 tahun bekerja mendampingi penyandang tunagrahita ini.

Di luar tujuan prestasi itu, dia mengaku kegiatan olahraga pada dasarnya sangat baik untuk penyandang tunagrahita yang juga sering disebut anak wajah seribu. Secara fisik, anak tunagrahita itu kurang gerak dan kurang melakukan interaksi sosial. Dengan mengajak mereka berolahraga,kondisi fisik dan mentalnya diyakini bisa menjadi lebih baik. ”Dengan olahraga rutin, disinyalir itu bisa memperpanjang usia penyandang tunagrahita,” ungkapnya. Jumlah penyandang tunagrahita atau down syndromeini diperkirakan cukup banyak di Sulsel. Hanya,itu tidak banyak diketahui karena sebagian orang tua menyembunyikan anaknya dari pergaulan dunia luar. Seharusnya anak dengan keterbelakangan mental seperti itu dibiarkan bermain dan belajar sesuai kemampuan yang dimilikinya.

Dia mengingatkan para orang tua tidak memandang remeh persoalan itu. Pasalnya, berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 pada Pasal 23, kurang lebih disebutkan, setiap anak berhak mendapatkan pendidikan dan pelayanan khusus. ”Bagi orang tua yang tidak memberi anaknya pendidikan dan pe-layanan, itu bisa dikenai undang- undang karena telah melanggar hak asasi anak. Itu tergolong pelanggaran berat,”tandasnya. Pembina Pengda SOIna Sulsel M Darwis berharap kegiatan Porda tunagrahita bisa membuka mata orang tua agar membiarkan anak mereka berinteraksi dengan dunia luar.”Itu untuk mengubah paradigma sebagian orang tua yang kerap menyembunyikan anaknya.

Kebiasaan seperti itu yang coba kami ubah dengan menggelar kegiatan khusus untuk anak tunagrahita,” ujar doktor ilmu sosiologi Unhas ini. Penyandang tunagrahita adalah anak yang lahir dengan tingkat intelegensi rendah. Anak tunagrahita hanya rata-rata hanya memiliki intelligence quotient (IQ) di bawah 70, sedangkan IQ manusia normal berkisar 90–100. Butuh perjuangan berat membimbing anak tunagrahita agar kemampuannya lebih berkembang. Namun, kesulitan itu tidak lantas membuat orang tua harus menyerah. Anak tunagrahita disebutnya memiliki tiga jenis, yakni debil, embisil, dan idiot. Penanganan anak tersebut juga harus berbedabeda. Anak yang berada pada tingkatan debil masih bisa dididik, antara lain mengajari mereka membaca dan menulis. Ini tingkatan terendah tunagrahita.

Sementara anak jenis embisil, anak hanya bisa diajari kegiatan sehari-hari, seperti memakai baju dan memakai sepatu. Namun,anak ini tidak mampu membaca ataupun menulis. Jenis terakhir atau tunagrahita paling parah adalah idiot. Anak jenis ini memiliki kondisi fisik dan mental yang amat lemah. Pada umumnya anak idiot hanya mencapai usia 15 tahun sebelum meninggal. Di SLB Pembina Tingkat I Provinsi Sulsel, tempat Fatimah sehari- hari mengajar, sekitar 300 anak penyandang cacat dibina. Dari jumlah itu, 215 siswa yang bersekolah aktif.

Tingkatan pendidikan mereka mulai TK hingga SMA. Siswa berkebutuhan khusus itu didampingi 64 guru. Selain itu, ada yang bertugas menjadi pendamping yang jumlahnya sekitar 40 orang. Di sekolah itu menurut Type Approval Indonesia, para siswa menimba ilmu dengan menggunakan kurikulum khusus. Bukan hanya penyandang tunagrahita yang bersekolah di tempat itu, melainkan juga penyandang cacat lainnya, seperti tunanetra, tunarungu, tunadaksa, dan anak autis.”Setiap tahun ajaran baru kami membuka pendaftaran. Setiap anak dengan segala jenis kecacatan bisa didaftarkan bersekolah di tempat kami, tandasnya.

 
 
Copyright © 2013 Type Approval Indonesia All Rights Reserved
Alomeci