Minggu, 22 Mei 2011

GARIS tangan seseorang memang sulit ditebak

GARIS tangan seseorang memang sulit ditebak sehingga sangat cocok sebuah dalil yang menyebutkan, “kematian, rezeki, dan jodoh seseorang, hanya Tuhan yang tahu”. Begitupun yang dialami Anggiat Sinaga, General Manager Grand Clarion Hotel.

Siapa sangka saat masih remaja, dia sempat menjadi seorang loper koran. Kegiatan itu dihabiskannya di Manado, saat dia memberanikan diri meninggalkan kampung halamannya di Asahan, Sumatera Utara. Niat awalnya merantau ke Sulawesi Utara untuk mencari pengalaman dan mencoba mandiri.

Padahal di kota itu,dia sama sekali tidak memiliki sanak famili. “Saat itu hanya mempunyai ijazah SMA,jadi tidak ada perusahaan yang tertarik menggunakan tenaga saya.Suatu hari saya bertemu loper koran.Saat itu juga saya menawarkan diri menjadi pengantar koran.Dengan sepeda cicilan, saya mengantar koran ke pelanggan,”kata dia.

Namun, cerita tidak berakhir di situ. Suatu pagi saat mengantar koran ke rumah salah seorang pelanggan,sepeda yang ditinggal di luar pagar tiba- tiba saja raib entah ke mana. Padahal saat itu,cicilan kendaraan itu belum lunas. Pelanggan yang merasa iba dengan kejadian itu langsung menawarkan bantuan berupa uang agar Anggiat membeli sepeda baru.

Anehnya, bantuan tersebut justru ditolak alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) di Medan itu. Selain menjadi loper koran, dia pun sempat jadi pengisi bensin di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), tukang taman, dan pencatat meteran listrik. “Yang ada hanya keinginan kuat bertahan hidup dari keringat sendiri.

Sebetulnya saya pernah bercita-cita jadi pengacara. Beberapa kali mendaftar di perguruan tinggi negeri,tapi saya tidak pernah diterima.Saya malah berkarier jadi profesional di bidang perhotelan setelah kuliah di Akademi Perhotelan Manado. Pengalaman yang dialami saat itu membuat diri makin kuat,” kata Ketua PHRI Sulsel itu. Demikian catatan online blog Type Approval Indonesia yang berjudul GARIS tangan seseorang memang sulit ditebak.

Hotel Grand Clarion

AWAL kehadirannya di Makassar, Hotel Grand Clarion memang sempat mendapat cibiran dan diragukan mampu meraup keuntungan. Apalagi jauh sebelumnya, telah hadir sejumlah hotel ternama yang memiliki jaringan internasional.

Namun, dalam waktu empat tahun saja, jaringan Choice Hotels International itu mampu memperlihatkan tajinya pada bisnis perhotelan di Makassar. Berkat tangan dingin Anggiat Sinaga selaku General Manager Grand Clarion Hotel, pemain baru itu menjelma menjadi pemimpin pasar karena mampu melakukan penetrasi yang sangat baik.

Apa kiat Anggiat menghadapi kompetisi bisnis perhotelan yang sangat ketat di Kota Anging Mammiri? Berikut petikan wawancaranya.

Hotel Clarion termasuk “pemain” baru di Makassar. Bagaimana perkembangan hotel ini sejak empat tahun terakhir?

Betul sekali, kami baru empat tahun di Makassar dan ini betul-betul di luar dugaan. Perkembangannya, dalam ukuran hotel yang baru,ternyata mampu memuaskan pengunjung. Namun, terlepas dari langkah penetrasi oleh manajemen,hotel ini bisa diterima dan mampu menjadi market leaderdi Makassar.

Perluasan yang kami lakukan juga bertujuan mengakomodasi tingkat perkembangan hunian warga Makassar di hotel terbilang tinggi. Saat ini kami sedang membangun 100 kamar tambahan.Itu untuk mengakomodasi tamu yang sering kecewa karena tidak kebagian kamar.

Seberapa besar tingkat occupancy Hotel Grand Clarion dibanding hotel lain sehingga Anda menyebutnya sebagai market leader di Makassar?

Jadi begini, jika dilihat dari tingkat hunian, kami memang kalah dibanding dua hotel lain di Makassar, yaitu Hotel Horizon dan Hotel Santika, meskipun kelas kami sebetulnya beda. Kalau kami berani mengklaim sebagai market leader di Makassar, itu dalam konteks kuantitas atau jumlah.

Dibandingkan hotel lain, mereka hanya menjual kamar dan meeting room atau convention.Tetapi, kami justru hadir dengan berbagai fasilitas. Hotelnya (kamar) jelas, weeding jelas, entertainment jelas. Jadi semuanya lengkap. Itulah yang membuat Clarion bisa mengungguli hotel berbintang yang sudah ada sebelumnya. Jadi konsep itu disebut dengan meeting,incentive,convention, dan entertainment (MICE).

Saat ini Hotel Clarion masih berbintang empat. Di sisi lain, manajemen tengah melakukan upaya penambahan kamar. Apakah Clarion akan berubah status menjadi bintang lima?

Sejak hotel ini dibuka, pemilik ngotot kepada saya agar hotel ini dijadikan bintang lima.Itu hal yang wajar sebagai kebanggaan bagi pemilik. Dilihat dari sisi occupancy dan fasilitas, sebetulnya hotel ini layak menjadi bintang lima. Namun, saya juga ngotot tetap menjadikan hotel ini tetap menjadi bintang empat.

Karena ini merupakan strategi marketing kami. Kalau dilihat ke belakang, sangat banyak aturan pemerintah yang sedikit membatasi dan membuat segmentasi, secara alokasi anggaran bahwa yang layak menghuni hotel bintang lima adalah orang-orang tertentu.

Artinya, pemerintah melakukan klasifikasi eselon tertentu yang menghuni hotel bintang tert e n t u . Kami yang hadir dengan jumlah 333 kamar (saat ini sedang dibangun 100 kamar tambahan). Tentunya yang kami kejar adalah sisi volume bisnis.

Jadi biarkan kami tetap di bintang empat, tapi lebih fleksibel mengejar pasar. Bila perlu, dalam kondisi tertentu kami bisa menjadi bintang lima, bahkan bisa jadi bintang tiga. Jadi sangat elastis. Bayangkan jika kita hotel bintang lima, tapi justru bermain di bintang tiga.

Sebetulnya, apakah status bintang sebuah hotel memengaruhi harga tiap kamar?

Sebenarnya harga tidak dipengaruhi bintang. Ada hotel berbintang lima,tapi harganya bintang tiga. Selaku Ketua PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) Sulsel, saya pernah berinisiatif mengumpulkan general manager hotel se-Sulsel pada 2008.

Tujuannya, penentuan harga kamar adalah base on rating atau base on star, yaitu harga yang disesuaikan bintang. Tujuannya supaya kita tidak saling berkelahi.Ternyata saya malah disidang KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) karena organisasi tidak serta merta mengatur harga.

Biarkan pasar yang mengatur harga itu dan sesuai kemampuan pengusaha dalam menjual. Jadi tidak heran jika saat ini ada hotel bintang lima yang harganya murah. Sementara ada juga bintang tiga yang harganya mahal.

Apa yang dijual Hotel Grand Clarion untuk menggaet tamu dari luar Sulsel?

Saya mau menggambarkannya seperti ini.Empat tahun sebelumnya, jika ada long weekend (libur panjang),itu akan menjadi mimpi buruk bagi hotel di Makassar. Tingkat hunian hotel dipastikan jadi anjlok.

Namun, setelah adanya beberapa fasilitas umum yang jadi penunjang, seperti Trans Studio, pembangunan bandara baru dan fasilitas lain, telah mampu menstimulus pendatang datang ke Makassar. Jadi salah satu kata kunci untuk menggaet mereka adalah perubahan pembangunan yang ada di kota ini.

Artinya, ada kaitan antara pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah dan bisnis perhotelan?

Betul sekali. Saya harus katakan, tingkat hunian hotel di Makassar sangat stabil dan sangat berkaitan erat dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah. Begitupun tingkat perekonomian daerah yang terus tumbuh, melebihi rata-rata tingkat perekonomian nasional.

Hal ini jadi sangat penting karena peranan pemerintah sebagai pemegang regulasi untuk mengatur dengan baik sektor ini agar dapat menguntungkan semua pihak.Apalagi belakangan ini pemerintah meluncurkan program Visit Makassar 2011 dan Visit South Sulawesi 2011, yang membuat kegiatan bisnis di daerah ini makin berkembang.

Menurut data yang ada, jumlah kamar hotel di Makassar saat ini sekitar 4.500 kamar. Sementara tingkat occupancy tiga tahun terakhir ini di atas 70%.Angka ini sebenarnya cukup bagus untuk kelayakan berinvestasi di bisnis perhotelan. Sementara itu, pertumbuhan pembangunan hotel adalah 15%–17% dalam tiga tahun terakhir.

Tapi itu dalam kondisi yang normal. Sementara daerah ini terkenal dengan aksi demonstrasi yang anarkistis.Bagaimana pengaruh stigma tersebut terhadap bisnis perhotelan?

Itu dia masalahnya. Makanya kami berharap dan mengimbau menjaga stabilitas yang sangat bagus saat ini. Janganlah kita justru merusak rumah sendiri. Marilah kita bersamasama dalam kapasitas apa pun, menjaga hal ini. Kami juga sering meminta saudara yang lain, misalnya mahasiswa.

Demonstrasi boleh saja, tapi jangan anarkistis.Ini bertujuan agar pencitraan terhadap Makassar jadi positif dan jadi lebih baik. Saya sering berpikir dan bertanya seperti ini, dengan kondisi yang sering terjadi demo anarkistis saat ini, perekonomian bisa tumbuh 9,9%.

Pertanyaannya, bagaimana jika kita dalam kondisi aman dan stabil? Tentu pertumbuhannya bisa jauh lebih tinggi dan bagus. Jadi ekonomi kita bisa lebih bagus,investasi yang tinggi, penyerapan tenaga kerja makin luas sehingga lulusan universitas banyak terserap.

Salah satu sektor yang jadi pemicu tingginya occupancy hotel adalah sektor pariwisata yang digarap dengan baik. Bagaimana Anda melihat peran pemerintah menggarap sektor itu?

Ketika perubahan yang dilakukan pemerintah, berupa perbaikan fasilitas jalan raya, bandar udara baru yang lebih bagus, beberapa obyek pariwisata yang dibenahi, itulah yang membuat Pemkot Makassar berani mengampanyekan Visit Makassar 2011 dan Visit South Sulawesi 2011.

Tentu tidak enak mengundang wisatawan datang ke daerah ini, jika tidak dilakukan perubahan positif. Ini merupakan bagian upaya pemerintah menstimulus wisatawan tidak saja berkunjung ke daerah lain,tapi juga ke Makassar dan Sulsel. Sebetulnya, pariwisata tidak dilihat dari objeknya saja, tapi investornya juga.

Hal itu bisa terjadi jika ada kepastian hukum, keamanan berinvestasi, kemampuan pemerintah melayani. Itulah yang j a d i faktor sehingga makin banyak orang yang mau berkunjung ke daerah ini untuk berwisata, belanja, sehingga makin banyak uang yang beredar dan ekonomi akan berputar.

Khusus faktor kepastian hukum, keamanan berinvestasi, kemampuan pemerintah melayani, apakah telah diupayakan pemerintah di daerah ini?

Saya pikir dan yakin mereka menuju ke arah itu.Terbukti pemkot misalnya,melayani dalam satu atap.Sementara Pemprov Sulsel juga agresif memberikan kemudahan dan jaminan keamanan. Kalaupun hasilnya belum 100%, itu merupakan bagian proses.

Secara pribadi,saya sangat mengapresiasi keinginan pemerintah melakukan itu semua.Yang paling patut diacungi jempol adalah saat pemerintah menghadirkan pementasan internasional I La Galigo di Fort Rotterdam.

Itu kegiatan yang luar biasa. Selaku masyarakat pariwisata, kami sangat merasakan dampak kegiatan itu. Selama ini kami hanya mendengar I La Galigo dipentaskan di Eropa, Amerika, dan negara lain.Ternyata pemerintah berhasil menghadirkan pementasan itu di Makassar.

Ada oknum organisasi, melakukan sweeping di hotel dan restoran. Padahal mereka tidak berwenang melakukan hal itu. Pengunjung jadi merasa tidak nyaman karenanya. Bagaimana Anda menanggapi aksi mereka?

Marilah kita saling menghormati. Kata kunci menciptakan kehidupan yang harmonis dan kondusif adalah saling menghargai, menghormati, dan memberikan peran itu kepada yang memang berhak melakukan sesuai fungsinya. Hingga saat ini kami belum berkoordinasi dengan mereka, tapi terus berusaha menjalin komunikasi.

Kami yakin maksud mereka positif.Marilah kami berikan fungsi itu kepada pihak yang memang ditugaskan pemerintah.Saya tidak bisa bayangkan jika semua organisasi masyarakat melakukan hal yang sama, negara ini penuh ketidakpastian.

Apakah Visit Makassar 2011 dan Visit South Sulawesi 2011 telah berjalan baik?

Meski belum berjalan dengan baik, program Visit Makassar 2011 dan Visit South Sulawesi 2011 patut diapresiasi. Kalaupun misalnya belum berjalan dengan baik, itu bagian proses. Ini adalah dinamika marketing dan kami tidak boleh langsung mau melihat hasil akhir.

Program seperti ini tidak sama halnya dengan makan cabe,yang jika tersentuh lidah, langsung terasa pedasnya. Ini adalah proses yang harus dilalui. Saya pernah menyampaikan kepada Kepala Dinas Pariwisata bahwa jika semua daerah dilibatkan dalam program Visit Makassar 2011 dan Visit South Sulawesi 2011, mereka tentu keteteran.

Ada baiknya program ini difokuskan di daerah tertentu sehingga bisa berhasil. Tanpa berlebih-lebihan, saya mengapresiasi program Visit Makassar 2011 dan Visit South Sulawesi 2011.

Ada berbagai objek pariwisata yang tidak digarap dengan baik, seperti akses ke Tanjung Bira Bulukumba yang sangat rusak. Begitupun banyaknya waktu yang terbuang jika menuju ke Tana Toraja. Apakah karena hal itu pelaku pariwisata kesulitan menjual paket wisata di Sulsel?

Jujur saja,kalau melihat kelemahan- kelemahan itu,takutnya kami takut berbuat. Kalau disinggung masalah ketersediaan anggaran pembangunan infrastruktur itu, saya tidak mengetahui persis berapa jumlahnya. Saya mendapatkan informasi bahwa jalan trans-Sulawesi (Maros-Parepare yang sedang diperlebar) akan selesai dan dimaksimalkan penggunaannya pada September.

Khusus objek pariwisata,seberapa pun terbatasnya anggaran yang ada saat ini, paling tidak sebaiknya ada tiga atau empat objek yang dikelola serius sehingga tidak muncul lagi kritik mengenai fasilitasnya yang tidak memadai. Jika berkunjung ke objek pariwisata itu, kita dapat menikmatinya dengan baik.

Banyak yang mengkritisi pemerintah yang banyak mempromosikan Sulsel ke luar negeri. Mengapa tidak promosi saja ke Bali karena daerah itu adalah tujuan pariwisata dunia? Apalagi Makassar cukup dekat dengan Bali, bagaimana menurut Anda?

Saya termasuk yang mengkritisi hal itu.Sebetulnya tidak ada yang salah jika pemerintah mempromosikan pariwisata Sulsel ke luar negeri. Filosofi pariwisata adalah makin banyak kunjungan semakin bagus. Tetapi,jika berbicara efektivitas dan keterbatasan anggaran, memang perlu kecerdasan melakukan hal yang tepat.

Saya pernah menyampaikan kepada pemerintah bahwa untuk mendatangkan banyak wisatawan, perbanyak kegiatan promosi ke Bali.Daerah itu adalah miniatur dunia. Segala ras ada di sana,mulai Jepang,Amerika, Kanada,China.Kami kampanyekan program contohnya, “semalam di Makassar”. Demikian catatan online blog Type Approval Indonesia yang berjudul Hotel Grand Clarion.

 
 
Copyright © 2013 Type Approval Indonesia All Rights Reserved
Alomeci